
Jurnalikanews – Perhelatan piala dunia tahun 2022 yang diselenggarakan di Qatar menuai banyak pro kontra dalam kebijakan maupun peraturan yang diterapkan oleh tuan rumah. Qatar sendiri terpilih melalui voting oleh petinggi FIFA sebagai tuan rumah pada tahun 2010 di mana momen ketika itu setelah penyelenggaraan piala dunia 2010 di negara Afrika Selatan. Banyak pihak beranggapan bahwa pemilihan Qatar sebagai tua rumah ini kurang masuk akal karena budaya sepak bola di sana pun tidak begitu populer dan juga berada di daerah timur tengah yang notabene memiliki cuaca atau suhu panas yang cukup ekstrim. Beberapa jurnalis pun menganggap adanya intervensi dari pihak luar yang berkepentingan untuk pemilihan Qatar sebagai tuan rumah piala dunia 2022.
Fakta-fakta menarik pun mulai terkuak ke permukaan bersamaan dengan terselenggaranya piala dunia kali ini. Hal yang menjadi pusat perhatian adalah biaya yang dihabiskan oleh Qatar dalam mempersiapkan dan melaksanakan piala dunia ini yang menyentuh angka sebesar US$ 220 miliar atau setara dengan 3,4 kuadriliun sejak terpilih tahun 2010 sebagai tuan rumah piala dunia dilansir oleh forbes. Banyak ekonom beranggapan bahwa hal ini dilakukan agar arus cash yang dimiliki oleh negara Qatar dapat beredar di masyarakat karena seperti yang diketahui Qatar merupakan negara dengan pendapatan yang tinggi sehingga perlu arus cash yang lancar secara berkelanjutan agar tidak terjadi deflasi karena banyak orang yang memiliki kekayaan yang tinggi.

Letak Qatar yang berada di timur tengah dengan suhu yang cukup ekstrim juga menjadi bahan perbincangan di masyarakat dunia. Suhu rataan di Qatar pun dapat melebihi 45°C ketika musim panas sehingga akan membuat para pemain yang berlaga di piala dunia akan tersiksa oleh panasnya cuaca di Qatar. Pihak penyelenggara pun menyiasatinya dengan memasang AC di setiap stadion yang dipasang banyak di tengah stadion. Hal inilah yang menjadi penyebab piala dunia yang sediakalanya dilaksanakan pada bulan Juni atau pertengahan tahun kemudian di geser ke akhir tahun di bulan November sehingga piala dunia yang seharusnya diselenggarakan ketika musim liga selesai namun kali ini dilakukan di tengah musim liga berlangsung serta sangat berpengaruh terhadap kesiapan negara yang berpartisipasi nya.
Polemik yang bersinggungan dengan agama juga terjadi di piala dunia kali ini karena Qatar sendiri merupakan negara yang memiliki daan menjunjung tinggi agama Islam sebagai acuan aturannya. Banyak penonton dari berbagai negara yang mengeluhkan banyak hal yang dilarang di Qatar namun lumrah di negaranya masing-masing contohnya saja bir yang dilarang oleh pihak penyelenggara karena diharamkan dalam agama islam, dimana budaya di negara eropa terutama bir dapat dikonsumsi dalam stadion ketika menonton laga sepakbola. Selain itu hal mengenai larangan LGBT yang menyeruak karena menuai pro kontra dalam pelaksanaanya karena Qatar melarang keras adanya LGBT dalam negaranya namun negara-negara seperti Jerman, Inggris, dan Denmark menuntut kebebasan dalam hal tersebut sehingga dapat mengkampanyekan dengan menggunakan ban kapten dengan warna pelangi yang menggambarkan golongan manusia yang bersangkutan.
Dalam penyelenggaraan perhelatan acara pesta olahraga yang melibatkan banyak negara tentunya pasti menuai pro kontra di dalamnya. Tentunya perlu ada sikap yang dewasa dalam menyikapi perbedaan pendapat tersebut sehingga suasana kondisi dapat dingin kembali serta terhindar dari berbagai macam provokasi yang dilakukan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab. Sebagai penonton sudah seharusnya menikmati suguhan permainan tim yang berlaga di piala dunia Qatar 2022 dengan mengesampingkan pro kontra yang terjadi agar penyelenggaraan piala dunia ini dapat menjadi hiburan setelah melepas tekanan selama pandemi yang belum lama ini berlangsung. (MIP)