

Jurnalikanews- Hidup itu seperti meniti anak tangga, anggap saja posisi kita sekarang ada di tengah-tengah antara pijakan pertama dan terakhir.
Pijakan pertama adalah permulaan kita memutuskan sesuatu, pijakan terakhir adalah tempat ketika kita berada dalam posisi yang diimpikan pada awal keputusan tadi.
Menulis pun demikian, terkadang kita terlalu banyak melihat ke atas, sehingga progres-nya hanya di awang-awang. Padahal kalau melihat lebih bawah, kita posisinya sudah lebih baik.
Orang tidak mau menulis, kebanyakan karena alasan tidak percaya diri, padahal tidak juga demikian. Malah, di era media sosial (medsos) ini kerapkali dijumpai para penulis yang sebenarnya punya potensi hebat, tetapi karena faktor “tidak pede” tadi, jadinya tulisan itu hanya dibaca sejagat dunia pertemanan yang ada. Padahal terkadang dari jumlah teman, pengikut di medsos itu, yang aktif juga berapa persennya. Terus yang memberikan apresiasi “like” atau komentar berapa?
Bukankah sebenarnya ini patut disayangkan? Kemampuan yang berlebih hanya ngendon, cuma dalam wadah yang relatif terbatas.
Memang kalau mau jujur, melihat orang-orang “sukses” dalam jajaran komunitas yang sama, bisa membuat tidak percaya diri. Wah, ternyata orang ini penulis buku. Dia seorang bloger, pegiat literasi. Dia itu pewarta (jurnalis), motivator. Dia adalah dosen, guru, pendidik, pengajar. Dia itu ternyata penyair atau pecinta sastra. Ya, sosok-sosok yang dijumpai, mereka semua amat lekat dengan dunia kepenulisan
“Lah, saya siapa? Cuma orang biasa, yang hobi sebenarnya juga tidak. Hanya kebetulan punya sedikit waktu senggang untuk menuliskan ocehan lewat sentuhan jari. Untuk kedepannya, pola pikir seperti ini perlu dihindari. Malah sebaliknya, perlu menjalin relasi dengan orang-orang dalam lingkungan komunitas yang sama biar lebih punya greget dan motivasi. Kalau perlu dan berani “uji nyali”, menantang mereka untuk bersama-sama berkarya lewat karya bersama.
Misalkan, siapkan saja tema besar yang akan menjadi fokus perhatian bersama, lalu setiap orang dibebaskan untuk menuliskan ceritanya. Tetapi harus ada batas waktu kapan tulisan itu dikumpulkan.
Cara ini dipakai selain untuk merangsang daya imajinasi, juga sekaligus membangun kebersamaan di dalam grup untuk saling memotivasi dalam karya. Sebab kalau sendiri, tak punya komunitas, tak ada tantangan, karyanya bisa saja berhenti.
Jangka panjangnya, menulis bersama akan menghasilkan produktivitas karya. Karya-karya yang rutin ini kalau terkumpul dan dikompilasikan, akhirnya bisa banyak juga kan.
Selamat berani menulis. Jangan takut, jangan ragu. Biarpun punya buku teori menulis paling hits sekalipun, tapi tak pernah praktik, ya sama aja bohong. (RAH)
Referensi :