Jurnalikanews-.Sejenak aku merenung memikirkan tanah yang kupijak, berangan aku mulai bercengkrama dengan tanah negri ibu pertiwi. Seandainya, orang pintar dengan banyak pengetahuan, semuanya memiliki moral baik, sungguh aset itu lebih berharga di banding tanah yang subur ini wahai negri ” kataku dalam hati”. terkadang, aku takjub dengan pemimpin negri tetangga yang hanya bermodal tanah kering lagi tandus kesejahteraan rakyat mebuat ngiler lisan yang berucap tentangnya. Aku tau kamu tidaklah menggendong sedikit orang bodoh, banyak deretan titel dari para penguasamu. yang aku tau, mereka lah orang hebat yang akan aku contoh sebagai bekal menjadi generasi membangun negri ini. tapi kenapa, masih banyak korupsi dan penyuapan yang membuat miskin negri ini, lantas apa yang harus aku contoh dari pemimpinmu wahai negri? aku hanya bisa memikirkanmu merintih atas kedzoliman di punggungmu. berderet titel pastilah banyak pengetahuan, bukankah cukup sebagai bekal kemajuanmu? Lantas apa yang salah dengan titel dan pengetahuan mereka para pemimpin dan penguasa negri, apa mungkin mereka yang dulunya sering nyontek saat ulangan atau ujian yang seyogyanya itu mengajarkan kejujuran, atau mereka yang dulu hanya mengandalkan search and copy paste saat tes. pengetahuan yang seharusnya sudah di hafal dengan kepayahan yang mengajarkan makna pengorbanan, sehingga kebiasaan buruk itu mendarah daging dan menjadi tonggak pemikiran yang di benarkan hati nurani, akibatnya mereka menganggap itu semua hanya formalitas, yang di jadikan sebagai budaya paten.
Jangan kau beranggapan bahwa aku salah menjustifikasi wahai negri. Lihatlah, bahwa adanya perkara besar di mulai dari perkara kecil, bukankah perkara tidak mencontek mengajarkan kejujuran atas hilangnya korupsi di negri ini, dan perkara tidak search and copy paste saat tes mengajarkan perjungan sehingga timbul jiwa patriot membangun negri, sehingga sadar bahwa sesuatu tidak di dapat dengan instan.
Wahai negeri ketahuilah, bahwa kepandaian dan banyak pengetahuan lagi berderet titel dari pemimpin dan penguasamu tidaklah cukup mampu menjaga dan merawatmu, apalagi mensejahterakan rakyat sampai menjawab keadilan hukum di punggungmu, tanpa ada moral yang kuat dari penguasa mu, apa mungkin negri ini bisa makmur kalau pemimpinya tidak jujur, apa mungkin negri ini bisa maju dengan pemimpin korup yang hanya memikirkan perut pribadi dan golongan. sedang kamu akan makmur lagi kaya karena perjuagan penguasamu yang faham dengan tanggung jawab dari rakyatmu, lagi lagi tanggung jawab bukan masalah deretan tittle, tapi itu masalah moral yang tidak bisa orang fahami secara instan. Bahkan orang kumuh lagi bodoh yang tak bergelar dan bertittle bisa menyandang tanggung jawab.
Itu anganku terhadap realita yang terjadi di tanah yang ku pijak, negri ibu pertiwi. terkadang aku memikirkan sesuatu yang tabu sehingga menyudutkanku menyalahkan pemimpin yang sesuai dengan karakteristik, cerdas lagi bermoral. Aku mencoba mengusut apa yang salah dari pemikiranku, aku butuh jawaban yang pasti, bahasa mata terus mencari tau, lisan menyambung dan telinga yang terus ingin mendengar tentang realita negri. Kekayaan alam negri ibu pertiwi yang membuat ngiler negeri-negeri tetangga, tanah yang subur terhampar luas dari Sabang sampai Merauke, jajaran pulau yang menyimpan exsistensi luar biasa, namun mengapa rakyat tetap miskin dan menderita? lucunya pengangguran terus menumpuk dari tahun ke tahun, akibatnya kesejateraan masyarakat tidak bisa di tingkatkan. lantas apa tugasku sebagai tonggak generasi, supaya negri ini maju dengan rakyat makmur? Aku terus bertanya terhadap hati, sering kali mata menunjukkan ketidak adilan di negri ini, “ saat aku melihat pengangguran adalah sarjana”. dan sering kali aku dengar “ susahnya mencari kerja di negri ini dan kemiskinan, sampai tindakan kriminal”. tak jarang aku jumpai “ petani, nelayan, buruh, dan pegawai mengeluh atas upah yang sangat minim”. sejenak aku mengingat realitas saat pulang ke kampung halaman sekedar melepas rindu sembari menemukan jawaban pasti, realitas pemikiran masyarakat. Benar saja, negeri ini miskin, ketika aku bertanya dengan masyarakat apa impian untuk generasi negeri ini” sebagian besar mereka menjawab bahwa pendidikan yang baik akan memajukan negeri, saya tersenyum manggut-manggut benar saja pendidikanlah yang akan memajukan negri, tapi saya menginginkan realitas bukan omong kosong, saya tau pemerintah sudah berupaya keras untuk memajukan sisitim pendidikan. Namun, dalam realitasnya tidak memberikan dampak yang signifikan, bilamana pendidikan yang akan memajukan negri kenapa masih aku jumpai kemiskinan di negri ini, dan hilang kesejahteraan masyarakat, lagi lagi mengeluh masalah ekonomi. Aku terus menyisiri lisan masyarakat, mencari jawaban atas realita negri ini. Hampir hampir semua pertanyaanku di jawab dengan maksud yang sama yakni pendidikan, namun alasan yang logis saat aku tanya mengapa pendidikan jawabannya pun secara real logis yakni supaya mendapatkan pekerjaan yang layak, dengan gelarnya. semua jawaban itu belum bisa memuaskan pertanyaanku. Aku merenung dalam kelamunan memikirkan jawaban sebagian besar masyarakat, bila jawabannya seperti itu mereka hanya memikirkan hal hal tabu, mana mungkin anak kalian bisa langsung kerja sedang jumlah lulusan pendidikan terus meningkat baik lulusan menengah tingkat SMK/SMA maupun sarjana tiap tahun. tapi tidak diimbangi degan penciptaan lapangan kerja layaknya air yang tumpah dalam gelas yang sudah penuh dan masih terus di kucuri air, logikannya, peluang kerja itu tidak selamanya bisa di cari, akan tetapi peluang kerja itu harus di ciptakan. Inilah satu jawaban dengan realitas, dan bekal sebagai penerus generasi. Andaikata dari dulu mereka faham mendidik anaknya untuk moral bukan untuk materiil sungguh tak separah ini lukamu wahai negeri.”gumamku memelas dalam hati”
Seyogyanya, dalam realitas masyarakat sudah memiliki kualitas pemikiran yang cukup untuk di katakan sebagai masyarakat maju. Namun, pemikiran harus terus di kembangkan, sebagai momok generasi harus mampu memahami situasi dan kondisi realitas negri, oleh karena itu negri ini akan terbangun dan maju manakala pemimpin dan masyarakat, baik masyarakat bawah menegah dan atas mampu mengembangkan pemikirannya, dan pemikiran di satupadukan menjadi aturan yang terkonsekuensi, akan tetapi lagi lagi sifat manusiawi terus menghalangi langkah, kerap kali realita aku dapati, dalam sebuah forum bahwa korupsi dan penyuapan lagaknya sudah mendarah daging di negri ini, karena tak satupun yang berani menyanggah ketika si kaya atau si penguasa bicara, jelas jelas usulannya salah. mereka seakan tak ada daya hanya bisa manggut manggut dan diam ketakutan. pantes saja negri terus meronta.
Lantas bagaimana pandangan kedepan dengan realitas itu, aku sebagai mahasiswa bertanya kepada hati nurani? “Berpendidikanlah untuk moral, biasakan jujur dan berjuang. Meski kadang nilai menyesakkan hati, perlu di ingat tidak ada usaha yang sia-sia, semua akan memberikan upah nantinya. Kalaulah kamu mahasiswa lulus dengan nilai jelek karena kejujuran, bukan kah kamu sudah terlatih menjadi generasi terdidik yang tangguh lagi jujur. Kelak kamu pantas menjadi pemimpin yang bertanggung jawab kalaupun tidak, kamu sudah mampu membuka peluang kerja.