JURNALIKA

Jurnalistik Politeknik AKA Bogor

golput
Jurnalikanews- Ada fakta menarik setiap kali pemilihan umum akan dilaksanakan, baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional, bahkan hingga tingkat kampus sekalipun yakni presentasi Golongan Putih (Golput) yang signifikan. Contohnya saat pemilu tahun  2014, presentasi golput mencapai 25 persen (data CSIS-SYRUS), yang artinya hampir seperempat penduduk Indonesia tidak menggunakan Hak Suaranya untuk memilih seorang pemimpin.
Untuk para aktivis kampus mungkin pemilihan seorang Presiden Mahasiswa merupakan momen sacral yang akan menentukan arah gerak mereka kedepannya setelah dipimpin oleh seorang pemimpin baru. Tidak jauh berbeda dengan politik nasional, isu mengenai golput juga hangat dibicarakan jelang diadakannya pemilihan tersebut. Berkaca dari hal tersebut, penulis akan sedikit membahas beberapa poin mengenai peserta Golput tersebut.
Latar Belakang Golput
Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI) Andrinof Chaniago mengemukakan ada beberapa alasan masyarakat golput, antara lain karena berhalangan hadir ke tempat pemungutan suara (TPS) karena urusan pribadi. Lalu, masalah administrasi seperti misalnya tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap. Alasan terakhir, yakni yang tidak memilih karena persoalan ideologis. Masyarakat menganggap tidak ada kandidat atau calon legislator yang dianggap layak dipilih. (Sumber : detik.com)
Dari ketiga alasan tersebut, masyarakat yang merasa tidak ada yang layak dipilih adalah hal yang paling krusial dan besar dampaknya terhadap presentase golput tersebut. Penyampaian visi misi dan program bukan lagi tolak ukur utama. Hal menarik pertama adalah cengkraman atau budaya oligarki dari setiap calon. Hal tersebut dianggap sebagai bentuk ketimpangan demokrasi karena hanya memunculkan nama-nama yang berasal dari pemerintahan sebelumnya. Dampaknya adalah miskinnya inovasi yang akan dibawa oleh para calon untuk berlangsungnya sebuah pemerintahan yang akhirnya masyarakat akan merasa tidak ada peningkatan taraf hidup.
Namun, hal menarik pertama sebenarnya adalah dampak dari hal menarik berikutnya yakni antipati masyarakat terhadap politik. Hal tersebut sering terjadi karena terlalu rumitnya sistem yang dibangun sehingga masyarakat merasa bahwa hanya elit pemerintahanlah yang mampu menjalankan. Namun, elektabilitas yang kurang mumpuni juga menjadi factor, apalagi, misal, bila calon pemimpin tersebut pernah atau sedang melanggar ketentuan hukum yang berlaku, lalu masyarakat harus percaya kepada siapa?. Selain hal tersebut, kesadaran politik masih belum mendalam sehingga politik dianggap lebih pada sebuah acara ramai-ramai belaka.
 
Suara adalah Hak Politik, Bukan Kewajiban
Adrinof Caniago menyampaikan bahwa, fatwa haram MUI mengenai golput merupakan sesuatu yang berlebihan,  pasalnya, golput juga hak politik seseorang, yakni hak untuk tidak memilih. Dia menekankan, jika ingin menekan angka golput maka Komisi Pemilihan Umum, pemerintah, dan partai harus meningkatkan sosialisasi serta kepercayaan publik. “Enggak bisa (diharamkan), aneh itu fatwa haram atau kecaman, enggak bisa divonis begitu,” kata dia menegaskan. Hal senada juga disampaikan oleh pengamat politik LIPI, Syamsudin Haris (Sumber : detik.com).
Komedian yang juga terjun ke dunia politik, Pandji Pragiwaksono, juga berpendapat dalam video di akun Youtubenya bahwa golput merupakan salah satu bentuk demokrasi. Di dalam demokrasi setiap orang berhak mengemukakan pendapatnya yang dilindungi oleh hukum dalam UUD 1945 (amandemen) pada pasal 28E ayat (3) dan golput adalah bentuk dari pendapat tersebut. Justru ketika golput diharamkan maka itu merupakan antithesis dari hukum tersebut.
Namun, hal yang perlu digarisbawahi adalah ketika kita tidak memilih calon manapun kita harus ingat bahwa kita akan tetap berada dalam kepemimpinan salah satu calon yang akan terpilih. Konsekuensi sebagai seorang golput tidak hanya ketika sedang pemilihan, namnun sebelum, sesudah, hingga regenerasi nanti juga harus dipikirkan. Kebijakan dan kedewasaan pola pikir menjadi ujung tombak bila ingin maju bersama-sama.
Berpartisipasi dalam politik tidak harus terjun ke dunia politik atau ikut memilih ketika pemilihan dalam konteks politik, Syahirul Alim, alumnus  Magister Hukum UI, dalam tulisannya di Kompasiana.com mengemukakan, partisipasi politik sendiri, menurut anggapan para ilmuwan politik, tidak harus diukur oleh meningkatnya jumlah orang yang datang ke TPS-TPS untuk memberikan suara mereka, tetapi cara pandang mereka yang aktif dalam dunia politik, termasuk ikut serta dalam lembaga-lembaga sosial-politik, keagamaan, organisasi profesi dan bisnis atau organisasi kemasyarakatan adalah bentuk dari sebuah partisipasi politik.
Sekali lagi, PR bersama ketika setiap orang dituntut untuk berpartisipasi dalam sebuah organisasi. Bagi para calon pemimpin, tantangan bukan hanya bagaimana membawa organisasi yang dipimpin sesuai dengan keinginan namun juga bagaimana menyatukan visi masyarakat untuk bersama-sama dalam satu track. (FA)