Jurnalikanews- Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak sekali kekayaan, baik itu sumber daya manusia, alam, maupun adat dan kebudayaannya. Di Provinsi Sulawesi Selatan terdapat berbagai macam suku yang bercampur satu sama lain, namun dapat dikatakan bahwa hanya ada 4 suku besar yang mendiami wilayah ini, yaitu Bugis, makassar, Mandar dan Toraja. Masing-masing suku ini juga memiliki berbagai macam pola hidup yang cukup berbeda. Mayoritas wilayah Sulawesi Selatan didominasi oleh suku Bugis yang juga merupakan suku tertua dan terbesar.
Dalam suku Bugis, masyarakatnya menjunjung tinggi nilai-nilai kehidupan dan sangat menghargai hal-hal disekitarnya. Bisa dimulai dari hal kecil seperti mengutamakan orang yang lebih tua tanpa mengurangi rasa hormat dan sungkan terhadapnya. Demikian pula pada budaya tradisional pesta panen masyarakat Bugis yang dikenal dengan Mappa’dendang, mereka menganggap bahwa semua hal yang terjadi harus disyukuri dan memiliki makna yang tersirat dan sarat akan nilai kehidupan.
Salah satu contohnya adalah saat masyarakat telah memanen hasil pertaniannya, mereka melakukan ritual adat sebagai rasa syukur kepada sang pencipta yang telah memberikan hasil panen yang berlimpah sekaligus juga sebagai penghargaan bagi para petani yang telah bekerja keras mengelola usaha taninya. Mappa’dendang merupakan suatu suatu pesta yang diadakan secara besar-besaran oleh penduduk setempat . Konsep dalam
gotong royong masyarakat untuk mengelola hasil panen yang mereka peroleh. Acara ini merupakan kegiatan menumbuk padi atau gabah pada lesung dengan tongkat yang besar ( biasa disebut alu) sebagai penumbuknya.
Acara Mappa’dendang ini juga memiliki nilai magis yang lain. Bisa disebut juga sebagai tindakan menyucikan gabah yang dalam artian masih terikat dengan batangnya dan terhubung dengan tanah yang kemudian akan menjadi beras dan dikonsumsi oleh manusia. Tujuan dilakukan pensucian agar lebih berkah saat masuk kedalam tubuh yang memakannya. Acara ini dimulai dari dari ibu-ibu rumah tangga yang diundang akan menumbuk padi pada lesung dengan menggunakan alu sehingga menghasilkan irama yang dan tempo yang teratur.Konsentrasi dan kedisiplinan diperlukan didalamnya agar tidak membuat kesalahan yang dapat berakibat fatal, baik itu irama musik ataupun tangan orang orang yang memasukkan padi kedalam lesung.
Biasanya acara ini dilakukan di lapangan terbuka dan dimulai setelah maghrib atau malam hari. berlangsung selama beberapa jam, sehingga jika ada personil yang merasa lelah maka akan digantikan dengan pihak lain atau dari penonton yang bersedia. Acara ini tidak hanya sekadar menumbuk saja, ibu ibu pun terkadang menyanyikan beberapa lagu yang masih terikat denganapa yang mereka kerjakan. Sedangkan anak-anak mereka bermain disamping ataupun dibawah rumah.
Dalam pelaksanaanya, acara ini mengandung konsep humanisme ekologis. Konsep ini mengungkapkan keterkaitan suku Bugis dengan alam baik dalam halmkeyakinan spiritual, serta tindakan masyarakat bugis dalam hal mempertahankan tradisi mereka. Masyarakat Bugis tidak memnadang alam hanya sebagai pemenuhan kebutuhan manusia semata, namun merreka bertanggung jawab terhadap dampak dan efek samping akan penggunaan alam tersebut dan menghargai alam sebagai bagiaj dari kehidupan mereka yang tidak akan pernah lepas.(ARW)
Sumber : http://www.infobudaya.net
Sumber : https://anassalehe.blogspot.com
Jurnalistik Politeknik AKA Bogor