Jurnalikanews- Sentakan Gianni Infantino, presiden Induk organisasi sepak bola tertinggi, FIFA, pada peresmian penggunaan tekonologi VAR (Video Assistant Referee) Piala Dunia 2018 membuat seluruh insan sepak bola berdebat. Bagaimana tidak, teknologi yang baru saja di uji cobakan pada piala konfederasi tersebut resmi digunakan di perhelatan ter-akbar sepak bola, padahal baru di evaluasi selama satu tahun. Pertanyaannya, seberapa efektif penggunaan teknologi VAR berkaca dari perhelatan piala dunia 2018 yang berlangsung di Rusia tersebut?

Piala Dunia 2018 telah memasuki babak Final dimana Prancis dan Kroasia menjadi aktor yang akan berlaga pada duel penentuan juara dunia tersebut. Teranyar, di perebutan peringkat ke tiga, Belgia sukses mengalahkan “saudaranya” Inggris dengan skor 2-0.
Sejauh perhelatan Piala Dunia 2018 ini, setidaknya ada 14 drama yang diputuskan melalui teknologi VAR, dimana sudut pandang wasit melihat sebuah kejadian seketika berubah setelah melihat tayangan ulang pada layar VAR serta mendapat saran dari wasit VAR. Pengesahan gol kemenangan Striker Timnas Spanyol, Iago Aspas, yang sebelumnya dianulir karena dianggap berada pada posisi offside saat Spanyol berhadapan dengan Tunisia yang membuat peluang Tunisia lolos ke babak 16 besar sirna menjadi salah satunya. Seusai pertandingan, salah satu pemain Timnas Tunisia, Nurdin Amrabat, tertangkap kamera menunjukkan gestur bibir berucap “VAR is Bullsh*t”. Selain itu, pada Piala Dunia 2018 telah terjadi 24 penalti, dimana ini merupakan rekor penalti terbanyak selama piala dunia, serta 7 diantaranya diputuskan

lewat VAR. Hal tersebut membuktikan begitu berpengaruhnya VAR dalam sebuah pertandingan sepak bola.
Striker Tunisia itu menjadi salah satu orang yang paling menentang pengguaan VAR dalam sepak bola, namun banyak juga yang mendukung diterapkannya VAR tersebut, salah satunya adalah Ketua Komite Wasit FIFA yang juga mantan wasit elit FIFA asal Italia, Pierluigi Collina. “95 persen keputusan wasit sudah benar, dan presentase ini meningkat menjadi 99,3 persen berkat campur tangan VAR”, ungkap Collina. (dikutip dari bola.com). Namun, sepak bola tetaplah olahraga manusia, bukan olahraga robot, dimana akan tetap selalu ada sebuah keputusan yang keliru.
Pada dasarnya, penerapan VAR dalam sepak bola bertujuan untuk membantu wasit membuat keputusan yang benar, bukan keputusan yang adil. Namun permasalahannya adalah penonton selalu menuntut wasit bersikap adil, artinya perlakuan kepada kedua tim harus sama. Padahal, benar belum tentu adil, bila didefinisikan secara ringkas (dalam dunia sepak bola), adil adalah ketika kedua belah pihak mendapat bagian yang sama, sementara benar adalah keputusan yang sesuai dengan apa yang telah terjadi, barang tentu bisa merugikan satu tim dan menguntungkan tim lain.
Sebagai contoh penganuliran gol ketika pemain terjebak pada posisi offside. “Sebenarnya otak kita tidak begitu baik dalam menentukan waktu kejadian yang tepat karena kita tidak memerlukannya pada tingkat kesadaran normal,” kata Johan Wagemans, psikolog di KU Leuven. Ilmu saraf mengenal efek ini dengan istilah flash-lag.
Flash-lag adalah ilusi visual di mana objek-objek terlihat muncul dan/atau bergerak di lokasi yang sama yang dianggap berpindah dari satu sama lain. Efek ini mengakibatkan hakim garis (bukan wasit) sering salah menilai pemain berada pada posisi offside padahal ia tidak offside, atau sebaliknya.
Helsen menyatakan jika satu dariempat keputusan offside pada Piala Dunia 2002 adalah keputusan keliru akibat efek flash-lag ini. “Kamu tak bisa mengatasi [kesalahan] itu hanya dengan berlatih terus menerus. [Kesalahan] itu hanya bisa diatasi dengan tidak memercayai persepsimu,” kata Wagemans, mendukung Helsen.
Ucapan Wagemans diamini oleh Pierluigi Collina, Ketua Komite Wasit FIFA: “Jika kamu melihat beberapa asisten wasit (hakim garis) tak menaikkan bendera [ketika kejadian offside], itu bukan karena mereka membuat kesalahan, mereka diinstruksikan untuk tak menaikkan bendera ketika ada kejadian offside yang tipis yang bisa menghasilkan penyerangan yang menjanjikan atau kesempatan mencetak gol,” katanya kepada The Guardian. “Jika asisten wasit menaikkan bendera, semuanya selesai.”
Sebelum penerapan VAR, beda halnya dengan penonton yang mendapatkan kemewahan untuk melihat tayangan ulang sebuah kejadian, mereka bisa menilai apakan keputusan wasit tersebut benar atau salah, sementara wasit tidak. Jika keputusannya salah, hal tersebut yang membuat wasit dicap tidak becus dalam memimpin pertandingan. Disitulah VAR bekerja membantu wasit memutuskan sebuah kejadian. Namun, lagi-lagi, tuntutan berbuat adil dari penonton lah yang membuat teknologi secanggih apapun akan sia sia. Seorang wasit tidak dianggap adil ketika menganulir dua gol dari masing-masing tim meskipun yang satu keputusannya benar yang satu lagi salah. Namun, dalam persepsi penonton hal tersebut dianggap sebanding karena keduanya mendapatkan kerugian yang setimpal. Hal tersebut yang harus digarisbawahi.
Berkaca pada penerapan VAR di Piala Dunia 2018, agaknya penerapan VAR cenderung efektif dari sisi membantu wasit membuat keputusan. Belum adanya protes resmi dari sebuah Tim Nasional tentang kinerja wasit menjadi bukti bahwa VAR bekerja dengan baik. Namun, VAR justru mengurangi efektivitas waktu dalam sebuah pertandingan sepak bola itu sendiri. Melihat layar untuk menentukan keputusan oleh seorang wasit membutuhkan waktu yang lumayan. Meskipun terdapat tambahan waktu di penghujung waktu normal, situasi dan adrenalin pemain pada saat waktu tersebut pastilah berbeda.
Sebagai contoh, ketika wasit melihat tayangan pada layar VAR di menit 60 sebuah pertandingan untuk memutuskan terjadi pinalti atau tidak. Anggaplah tidak terjadi pinalti dan salah satu tim masih tertinggal 0-1. Melihat layar selama 3 menit dan diakumulasi untuk pemberian tambahan waktu. Situasi dan adrenalin seorang pemain yang terjadi pada menit 60-63 ketika wasit melihat tayangan VAR apabila hal tersebut tidak terjadi (melihat tayangan VAR) pastilah berbeda dengan menit 90-93. Permainan tim lawan yang tertinggal akan cenderung lebih cepat dan mereka akan lebih khawatir. Berbeda ketika pertandingan masih bergulir pada menit 60-63. Disitulah pengguaan VAR justru dikhawatirkan menjadi kambing hitam kekalahan sebuah tim. Terlebih bila tambahan waktu yang diberikan tidak sesuai dengan waktu yang terbuang akibat VAR tersebut. Karena dalam sebuah pertandingan, baik sepak bola maupun olahraga lain yang mempunyai batasan waktu pertandingan (beda dengan bulutangkis), satu detik saja amat sangat berarti.
Maka dari itu, pro kontra pengguaan VAR dalam sepakbola masih akan terus berlanjut. Efektivitas untuk membantu wasit membuat keputusan yang benar mungkin sudah teruji, namun hilangnya drama dalam sepak bola tersebutlah yang dapat membuat sisi menarik sepak bola hilang. Bagaimanapun, dinamisme sepak bola akan terus berlanjut. Perbaikan dari berbagai aspek dalam penerapan VAR harus terus dilakukan agar kecintaan publik pada sepak bola tidak luntur hanya karena sebuah teknologi. Sebaliknya, seharusnya teknologi menjadikan sepak bola akan terus dicintai oleh penggemarnya. (FA)
Note : Beberapa sumber dikutip dari situs panditfootball.com
- Instgram : @Jurnalika
- Line : @igx5444h
- Website : jurnalika-News.com
- Twitter : @jurnalika
- Facebook : Jurnalika Bogor
- YouTube : Jurnalistik Politeknik AKA